Kamis, 28 April 2016

Asal Usul Punden Ki Ageng Seguh Dusun Sebaluh



Abad ke 17, Kerajaan Mataram terlibat perselisihan akibat perebutan kekuasaan. Peperangan tak terelakkan dan menyebabkan Mataram terpecah dua negara, Ngayogyakarto dan Surakarta. Perselisihan ini memilukan sekaligus menyedihkan masyarakat. Kerajaan Mataram yang sebelumnya aman sentosa kini menemui perpecahannya.

Ki Ageng Hajar Seguh, Putra Keraton Surakarta melihat kemunduran ini. Baginya, perdamaian harus terjadi di kerajaan Mataram. Lalu, memohonlah beliau kepada Sang Hyaing, Tuhan Yang Maha Esa. Ki Ageng Seguh pun pergi bersemedi. Pergilah Ki Ageng Seguh menuju timur. Pun demikian dengan adiknya Ki Ageng Mangir. Namun, Ki Ageng Mangir belum pergi bertapa.

Sementara itu, Sang putri Keraton Ngayogyakarto, Dewi Anjarwati berkutat pada masalah asmaranya. Dia belum juga menemukan pasangan hidupnya. Dewi Hanajrwati kemudian berpuasa agar menemukan pasangan hidup yang sesuai dengan dirinya. 

Empat puluh hari empat puluh malam terlewati. Dewi mendapat jawaban dari Tuhan atas puasanya tersebut. Dewi akan menemukan jodohnya, namun dengan beberapa persyaratan. Dewi Anjarwati harus keluar meninggalkan Keraton, berganti pakaian dan harus menjadi masyarakat biasa. Dewi menurutinya. Bersama para pengawalnya, dia pergi menuju timur. Memenuhi kebutuhan sehari-harinya, Dewi Anjarwati mengamen di sepanjang perjalanan.

Tibalah Dewi Anjarwati di Surakarta. Di sini, Dewi Hanajrwati mengamen dan bernyanyi untuk mendapat upah. Ramailah orang melihat penampilannya. Melihat kerumunan tersebut, Ki Ageng Mangir mendatangi keramaian. Dilihatnya Dewi Anjarwati yang sedang bernyanyi. Ki Ageng Mangir pun jatuh hati kepada Dewi. 

“Kamu berasal darimana?” tanya Ki Ageng Mangir kepada Dewi.

“Saya orang Surakarta saja,” jawabnya

“Siapa nama orangtua kamu?”

“Saya tidak memiliki rumah. Saya bermalam hanya di Pamong.”

Demikianlah percakapan di antara mereka. Berlalunya waktu, mereka akhirnya menikah. Dan Dewi Anjarwati memasuki bulan keempat kehamilannya. Ki Ageng Mangir menceritakan keinginanya untuk bertapa kepada Dewi Anjarwati.

“Saya ingin bertapa agar Tuhan Yang Maha Esa memberikan kerukunan kepada Ngayogyakarto dan Surakarta,” kata Ki Ageng Mangir.

Sebelum berangkat, Ki Ageng Mangir meninggalkan pusaka kancip untuk membelah jambe. Ki Ageng Mangir berpesan agar saat membelahnya, kancip tidak diletakkan pada pangkuannya. Dewi Anjarwati harus mencari tempat lain.

“Kalau anakmu laki-laki, namakan dia Joko Baluh, bila perempuan terserah padamu,” pesan Ki
Ageng Mangir kepada Dewi Anjarwati. “Bila kelak dia dewasa, berilah klinting ke tangannya, agar tahu bahwa dia adalah anakku. Saya mau bertapa ke timur. Kalau anakmu ingin bertemu suruhlah pergi ke timur.” Pergilah Ki Ageng Mangir menuju tempat pertapaannya di timur. 

Tiga bulan berlalu. Dewi Anjarwati sudah memasuki bulan ke tujuh kandungan. Di saat ingin membelah jambe, Dewi lalai dan lupa pada pesan Ki Ageng Mangir. Dipangkunya kancip selagi bubuk kinang ditumbuknya. Akibatnya, pusaka kancip itu masuk ke dalam pusar janin.

Setelah sembilan bulan sepuluh hari mengandung, lahirlah jabang bayi. Alangkah terkejutnya. Jabang itu bukan seorang manusia, melainkan seekor ular naga. Karena tidak memiliki tangan, Dewi pun menaruh klinting pada ekornya. Sesuai dengan pesan Ki Ageng Mangir, Dewi menamainya Joko Baluh Klinting.

Beranjak dewasa, Joko Baluh Klinting bertanya ke Dewi Anjarwati. “Ibu, Ayah saya siapa? Kalau pergi, dia pergi kemana?” tanya Joko Baluh Klinting. “Sejak lahir saya tidak pernah melihat ayah.”
Dewi selama ini merahasiakan keberadaan Ki Ageng Mangir kepada Joko Baluh Klinting. Namun, Dewi iba dan akhirnya memberitahu kepada Joko Baluh Klinting.

“Ayahmu bernama Ki Ageng Mangir. Sekarang dia sedang bertapa ke arah timur. Bila kamu telah bertemu dengannya, katakanlah bahwa kamu bernama Joko Baluh Klinting dan beritahu klinting yang ada di ekormu.”

Berangkatlah Joko Baluh Klinting mencari tempat bersemedi Ki Ageng  Mangir di timur. Sesampainya di Madiun, Joko Baluh Klinting mendapati sebuah hutan. Dia penasaran bahwa di tempat Ki Ageng Mangir bertapa di sini. Namun, dugaannya salah, Ki Ageng Mangir tidak ada. 

Joko Baluh Klinting pun melanjutkan perjalanannya ke timur hingga tiba di gunung Semeru. Kepada makhluk halus yang berjaga di gunung Semeru, Joko  Baluh Klinting bertanya tentang Ki Ageng Mangir. Namun, bukan jawaban yang didapatkan Joko Baluh Klinting. Dia diusir oleh makhluk halus di situ. 

“Ini daerah saya. Baik manusia atau apapun tidak boleh masuk,” kata makhluk itu kepada Joko Klinting.

Mendapat perlakuan tidak sopan, Joko Baluh Klinting merasa geram dan marah. Dia menantang sang makhluk halus bertarung. Makhluk tersebut menerima tantangan ini. Terjadilah pertempuran sengit dan pada akhirnya Joko Baluh Klinting menang.

“Dimana orang tua saya,” tanya Joko Baluh Klinting kepada makhluk tersebut.

“Saya benar-benar tidak tahu. Tetapi, cobalah pergi ke gunung Kawi karena saya mendengar ada seorang yang sedang bertapa di sana,” kata makhluk tersebut kepada Joko Baluh Klinting.

Mendengar penjelasan ini, Joko Baluh Klinting terbang ke barat menuju tempat yang telah disebutkan makhluk halus tadi. Seluruh badan Joko Baluh Klinting terasa panas setelah pertempuran. Dari atas, secara kebetulan Joko Baluh Klinting melihat sebuah telaga di Songgoriti. Turunlah dia ke telaga itu untuk membasahi badan. Namun, oleh makhluk penjaga telaga, Joko Baluh klinting dilarang menuju telaga. 

Joko Baluh Klinting pun marah karena pelarangan ini. Dia merusak tanggul di sekitar telaga sehingga air yang ada di dalam keluar, mengalir ke sungai Brantas.

“Dimana Ayah saya?” tanya Joko Baluh Klinting kepada makhluk tersebut.

Makhluk tersebut menjawab bahwa ada seseorang di atas sana sedang bersemedi.

“Mungkin dia tahu orang yang kamu cari.”

Berangkatlah Joko Klinting ke atas. Sesampainya di atas, Joko Klinting menemukan sebuah Padepokan. Di dalamnya ada seorang yang sedang bersemedi.

“Ibu saya Dewi Anjarwati dan saya adalah Joko Baluh Klinting putra dari Ki Ageng Mangir, putra dari Solo. Kata Ibu saya, Ayah saya sedang bersemedi ke arah timur. Apakah anda adalah orang tua saya?” tanya Joko Klinting.

Mendengar perkataan Joko Klinting, orang tersebut menjadi terkejut. 

“Kamu berarti putra dari Keraton Surakarta. Saya adalah Ki Ageng Seguh dan Ki Ageng Mangir adalah adik saya. Kalau benar begitu, berarti kamu adalah anakku juga,” jawab orang tersebut.

Mendengar jawaban tersebut, berlinanglah air mata (luh) Joko Klinting lalu sujud menyembah (sembah) Ki Ageng Seguh. Joko Klinting juga diberi petunjuk agar pergi menuju Gunung Kawi menemui Ki Ageng Mangir yang sedang bersemedi di sana. Dengan cepat terbanglah Joko Klinting ke Gunung Kawi.

“Saya ini Joko Baluh Klinting putra dari Dewi Anjarwati dari Keraton Surakarta. Di ekor saya ada sebuah klinting sehingga nama saya adalah Joko Baluh Klinting. Apakah Anda Ayah saya?” tanya Joko Klinting kepada orang yang sedang bersemedi di situ.

“Iya,” jawab orang tersebut. “Namun, ada syarat yang harus kamu lewati. Kamu harus melingkari gunung ini dengan tubuhmu.”

Joko Klinting menyanggupi syarat tersebut. Dengan badannya, dia melingkari gunung tersebut. Namun sayang, hanya tinggal sejengkal lagi sampai badannya benar-benar sempurna melingkari gunung. Joko Klinting pun menjulurkan lidah ke ekornya. Ki Ageng Mangir dengan sigap menggagalkan usaha tersebut. Dipotongnya lidah tersebut sampai Joko Klanting berubah wujud menjadi pusaka kancip.

Padepokan yang menjadi tempat bersemedi Ki Ageng Seguh kini dikenal sebagai Punden di dusun Sebaluh Desa Pandesari Pujon. Banyak wisatawan mengunjungi tempat ini. Mayoritas dari mereka berasal dari provinsi Jawa Tengah dan Jogjakarta.