Abad ke 17,
Kerajaan Mataram terlibat perselisihan akibat perebutan kekuasaan. Peperangan tak
terelakkan dan menyebabkan Mataram terpecah dua negara, Ngayogyakarto dan
Surakarta. Perselisihan ini memilukan sekaligus menyedihkan masyarakat.
Kerajaan Mataram yang sebelumnya aman sentosa kini menemui perpecahannya.
Ki Ageng Hajar Seguh,
Putra Keraton Surakarta melihat kemunduran ini. Baginya, perdamaian harus
terjadi di kerajaan Mataram. Lalu, memohonlah beliau kepada Sang Hyaing, Tuhan
Yang Maha Esa. Ki Ageng Seguh pun pergi bersemedi. Pergilah Ki Ageng Seguh
menuju timur. Pun demikian dengan adiknya Ki Ageng Mangir. Namun, Ki Ageng
Mangir belum pergi bertapa.
Sementara itu, Sang
putri Keraton Ngayogyakarto, Dewi Anjarwati berkutat pada masalah asmaranya.
Dia belum juga menemukan pasangan hidupnya. Dewi Hanajrwati kemudian berpuasa
agar menemukan pasangan hidup yang sesuai dengan dirinya.
Empat puluh hari
empat puluh malam terlewati. Dewi mendapat jawaban dari Tuhan atas puasanya
tersebut. Dewi akan menemukan jodohnya, namun dengan beberapa persyaratan. Dewi
Anjarwati harus keluar meninggalkan Keraton, berganti pakaian dan harus menjadi
masyarakat biasa. Dewi menurutinya. Bersama para pengawalnya, dia pergi menuju
timur. Memenuhi kebutuhan sehari-harinya, Dewi Anjarwati mengamen di sepanjang
perjalanan.
Tibalah Dewi Anjarwati
di Surakarta. Di sini, Dewi Hanajrwati mengamen dan bernyanyi untuk mendapat
upah. Ramailah orang melihat penampilannya. Melihat kerumunan tersebut, Ki
Ageng Mangir mendatangi keramaian. Dilihatnya Dewi Anjarwati yang sedang
bernyanyi. Ki Ageng Mangir pun jatuh hati kepada Dewi.
“Kamu berasal
darimana?” tanya Ki Ageng Mangir kepada Dewi.
“Saya orang
Surakarta saja,” jawabnya
“Siapa nama
orangtua kamu?”
“Saya tidak
memiliki rumah. Saya bermalam hanya di Pamong.”
Demikianlah
percakapan di antara mereka. Berlalunya waktu, mereka akhirnya menikah. Dan
Dewi Anjarwati memasuki bulan keempat kehamilannya. Ki Ageng Mangir
menceritakan keinginanya untuk bertapa kepada Dewi Anjarwati.
“Saya ingin bertapa
agar Tuhan Yang Maha Esa memberikan kerukunan kepada Ngayogyakarto dan
Surakarta,” kata Ki Ageng Mangir.
Sebelum berangkat,
Ki Ageng Mangir meninggalkan pusaka kancip
untuk membelah jambe. Ki Ageng Mangir
berpesan agar saat membelahnya, kancip tidak diletakkan pada pangkuannya. Dewi
Anjarwati harus mencari tempat lain.
“Kalau anakmu
laki-laki, namakan dia Joko Baluh, bila perempuan terserah padamu,” pesan Ki
Ageng Mangir kepada Dewi Anjarwati. “Bila kelak dia dewasa, berilah klinting ke tangannya, agar tahu bahwa dia adalah anakku. Saya mau bertapa ke timur. Kalau anakmu ingin bertemu suruhlah pergi ke timur.” Pergilah Ki Ageng Mangir menuju tempat pertapaannya di timur.
Ageng Mangir kepada Dewi Anjarwati. “Bila kelak dia dewasa, berilah klinting ke tangannya, agar tahu bahwa dia adalah anakku. Saya mau bertapa ke timur. Kalau anakmu ingin bertemu suruhlah pergi ke timur.” Pergilah Ki Ageng Mangir menuju tempat pertapaannya di timur.
Tiga bulan berlalu.
Dewi Anjarwati sudah memasuki bulan ke tujuh kandungan. Di saat ingin membelah jambe, Dewi lalai dan lupa pada pesan Ki
Ageng Mangir. Dipangkunya kancip selagi
bubuk kinang ditumbuknya. Akibatnya, pusaka kancip itu masuk ke dalam pusar janin.
Setelah sembilan
bulan sepuluh hari mengandung, lahirlah jabang bayi. Alangkah terkejutnya.
Jabang itu bukan seorang manusia, melainkan seekor ular naga. Karena tidak memiliki
tangan, Dewi pun menaruh klinting pada ekornya. Sesuai dengan pesan Ki Ageng Mangir,
Dewi menamainya Joko Baluh Klinting.
Beranjak dewasa,
Joko Baluh Klinting bertanya ke Dewi Anjarwati. “Ibu, Ayah saya siapa? Kalau
pergi, dia pergi kemana?” tanya Joko Baluh Klinting. “Sejak lahir saya tidak
pernah melihat ayah.”
Dewi selama ini
merahasiakan keberadaan Ki Ageng Mangir kepada Joko Baluh Klinting. Namun, Dewi
iba dan akhirnya memberitahu kepada Joko Baluh Klinting.
“Ayahmu bernama Ki
Ageng Mangir. Sekarang dia sedang bertapa ke arah timur. Bila kamu telah
bertemu dengannya, katakanlah bahwa kamu bernama Joko Baluh Klinting dan
beritahu klinting yang ada di ekormu.”
Berangkatlah Joko
Baluh Klinting mencari tempat bersemedi Ki Ageng Mangir di timur. Sesampainya di Madiun, Joko
Baluh Klinting mendapati sebuah hutan. Dia penasaran bahwa di tempat Ki Ageng
Mangir bertapa di sini. Namun, dugaannya salah, Ki Ageng Mangir tidak ada.
Joko Baluh Klinting
pun melanjutkan perjalanannya ke timur hingga tiba di gunung Semeru. Kepada
makhluk halus yang berjaga di gunung Semeru, Joko Baluh Klinting bertanya tentang Ki Ageng
Mangir. Namun, bukan jawaban yang didapatkan Joko Baluh Klinting. Dia diusir
oleh makhluk halus di situ.
“Ini daerah saya.
Baik manusia atau apapun tidak boleh masuk,” kata makhluk itu kepada Joko
Klinting.
Mendapat perlakuan
tidak sopan, Joko Baluh Klinting merasa geram dan marah. Dia menantang sang
makhluk halus bertarung. Makhluk tersebut menerima tantangan ini. Terjadilah
pertempuran sengit dan pada akhirnya Joko Baluh Klinting menang.
“Dimana orang tua
saya,” tanya Joko Baluh Klinting kepada makhluk tersebut.
“Saya benar-benar
tidak tahu. Tetapi, cobalah pergi ke gunung Kawi karena saya mendengar ada
seorang yang sedang bertapa di sana,” kata makhluk tersebut kepada Joko Baluh
Klinting.
Mendengar
penjelasan ini, Joko Baluh Klinting terbang ke barat menuju tempat yang telah
disebutkan makhluk halus tadi. Seluruh badan Joko Baluh Klinting terasa panas
setelah pertempuran. Dari atas, secara kebetulan Joko Baluh Klinting melihat
sebuah telaga di Songgoriti. Turunlah dia ke telaga itu untuk membasahi badan.
Namun, oleh makhluk penjaga telaga, Joko Baluh klinting dilarang menuju telaga.
Joko Baluh Klinting
pun marah karena pelarangan ini. Dia merusak tanggul di sekitar telaga sehingga
air yang ada di dalam keluar, mengalir ke sungai Brantas.
“Dimana Ayah saya?”
tanya Joko Baluh Klinting kepada makhluk tersebut.
Makhluk tersebut
menjawab bahwa ada seseorang di atas sana sedang bersemedi.
“Mungkin dia tahu
orang yang kamu cari.”
Berangkatlah Joko
Klinting ke atas. Sesampainya di atas, Joko Klinting menemukan sebuah
Padepokan. Di dalamnya ada seorang yang sedang bersemedi.
“Ibu saya Dewi
Anjarwati dan saya adalah Joko Baluh Klinting putra dari Ki Ageng Mangir, putra
dari Solo. Kata Ibu saya, Ayah saya sedang bersemedi ke arah timur. Apakah anda
adalah orang tua saya?” tanya Joko Klinting.
Mendengar perkataan
Joko Klinting, orang tersebut menjadi terkejut.
“Kamu berarti putra
dari Keraton Surakarta. Saya adalah Ki Ageng Seguh dan Ki Ageng Mangir adalah
adik saya. Kalau benar begitu, berarti kamu adalah anakku juga,” jawab orang
tersebut.
Mendengar jawaban
tersebut, berlinanglah air mata (luh)
Joko Klinting lalu sujud menyembah
(sembah) Ki Ageng Seguh. Joko Klinting juga diberi petunjuk agar pergi
menuju Gunung Kawi menemui Ki Ageng Mangir yang sedang bersemedi di sana. Dengan cepat
terbanglah Joko Klinting ke Gunung Kawi.
“Saya ini Joko
Baluh Klinting putra dari Dewi Anjarwati dari Keraton Surakarta. Di ekor saya
ada sebuah klinting sehingga nama saya adalah Joko Baluh Klinting. Apakah Anda
Ayah saya?” tanya Joko Klinting kepada orang yang sedang bersemedi di situ.
“Iya,” jawab orang
tersebut. “Namun, ada syarat yang harus kamu lewati. Kamu harus melingkari
gunung ini dengan tubuhmu.”
Joko Klinting
menyanggupi syarat tersebut. Dengan badannya, dia melingkari gunung tersebut.
Namun sayang, hanya tinggal sejengkal lagi sampai badannya benar-benar sempurna
melingkari gunung. Joko Klinting pun menjulurkan lidah ke ekornya. Ki Ageng
Mangir dengan sigap menggagalkan usaha tersebut. Dipotongnya lidah tersebut
sampai Joko Klanting berubah wujud menjadi pusaka kancip.
Padepokan yang
menjadi tempat bersemedi Ki Ageng Seguh kini dikenal sebagai Punden di dusun
Sebaluh Desa Pandesari Pujon. Banyak wisatawan mengunjungi tempat ini.
Mayoritas dari mereka berasal dari provinsi Jawa Tengah dan Jogjakarta.
Asal Usul Punden Ki Ageng Seguh Dusun Sebaluh
4/
5
Oleh
Wisata Desa Pandesari